Galeri

Stefan Wolff: Jalan Mengakhiri Konflik Etnis

Perang saudara dan konflik etnis telah membawa penderitaan dunia yang luar biasa, namun Stefan Wolff menunjukkan bahwa, dalam 20 tahun terakhir, jumlah mereka telah terus menurun. Dia mengambil pelajaran penting dari Irlandia Utara, Liberia, Timor dan lebih untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan, diplomasi dan disain kelembagaan adalah tiga senjata paling efektif kita dalam melancarkan perdamaian.

Image

© Laurent Van Der Stockt: Puing-puing konflik Grozny, Chechnya (1996)

Hari ini saya ingin berbicara pada anda tentang konflik etnis dan perang sipil. Hal ini biasanya bukan topik yang menyenangkan, bukan juga topik yang biasanya menghasilkan kabar baik yang merupakan tema konferensi ini. Tapi, bukan hanya pada akhirnya ada beberapa kabar baik untuk dibicarakan tentang berkurangnya konflik-konflik seperti itu saat ini dibandingkan dua dekade sebelumnya, tapi mungkin yang lebih penting lagi adalah bahwa kita juga telah mencapai tingkat saling pengertian yang jauh lebih baik tentang apa yang bisa dilakukan untuk lebih banyak lagi mengurangi jumlah konflik etnis dan perang sipil dan penderitaan yang ditimbulkannya. Tiga hal muncul ke permukaan: kepemimpinan, diplomasi dan disain institusi. Apa yang akan saya fokuskan dalam pembicaraan saya adalah mengapa hal tersebut penting, bagaimana hal itu berperan, dan apa yang kita semua bisa lakukan untuk memastikan faktor-faktor itu terus berperan secara benar, yang berarti, bagaimana kita semua bisa berkontribusi untuk mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan dari para pemimpin lokal dan global untuk mewujudkan perdamaian dan mempertahankannya. Tapi mari kita mulai dari awal.

Perang sipil telah menjadi berita utama selama beberapa dekade hingga sekarang, dan khususnya konflik etnis telah menjadi sesuatu yang hampir selalu muncul sebagai ancaman utama terhadap keamanan internasional. Saat ini selama hampir dua dekade, berita-berita tentang hal itu buruk dan gambar – gambar yang ada menakutkan. Di Georgia, setelah bertahun-tahun mengalami kebuntuan kita menyaksikan munculnya kembali kekerasan yang begitu hebat pada bulan Agustus 2008. Hal ini dengan cepat berkembang menjadi sebuah perang 5 hari antara Rusia dan Georgia, yang membuat Georgia makin terbagi-bagi. Di Kenya, pemilu presiden yang diadakan tahun 2007 — kami baru saja mendengar tentang hal ini — dengan cepat berubah menjadi kekerasan antaretnis berskala tinggi dan pembunuhan dan penelantaran ribuan orang. Di Sri Lanka, perang sipil selama satu dekade antara kelompok minoritas Tamil dengan mayoritas Sinhala mencapai klimaks yang berdarah di tahun 2009, setelah mungkin sekitar 100.000 orang kehilangan nyawa sejak 1983. Di Kyrgyzstan, baru beberapa minggu yang lalu, sebuah kekerasan dengan tingkat yang tak terduga sebelumnya, muncul antara etnis Kyrgyz dan etnis Uzbek. Ratusan orang terbunuh, dan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal termasuk banyak orang dari etnis Uzbek yang melarikan diri ke negara tetangga Uzbekistan. Di Timur Tengah, konflik antara penduduk Israel dan Palestina terus berlangsung tanpa henti. dan bahkan menjadi lebih sulit untuk melihat bagaimana sebuah solusi berkelanjutan yang bisa dilakukan dapat tercapai. Darfur mungkin telah lolos dari berita-berita utama, tapi pembunuhan dan penelantaran orang-orang di sana terus berlanjut. dan penderitaan yang telah diciptakannya sangat sulit untuk dilukiskan. Dan akhirnya di Irak, kekerasan mulai bertambah lagi, dan negara tersebut belum membentuk sebuah pemerintahan empat bulan setelah pemilihan anggota parlemennya.

Genosida di Rwanda (1994)

Tapi tunggu dulu, pembicaraan ini seharusnya tentang kabar baik. Jadi apakah semua ini adalah gambaran dari masa lalu? Baik, tanpa mengesampingkan gambaran kelabu dari Timur Tengah, Darfur, Irak, dan tempat-tempat lainnya. Ada satu kecenderungan jangka panjang yang menunjukkan beberapa kabar baik. Lebih dari dua dekade setelah berakhirnya Perang Dingin, telah terjadi penurunan secara menyeluruh dalam jumlah perang sipil. Sejak puncaknya di awal tahun 90-an, di mana terjadi sekitar 50 perang sipil, sekarang jumlah konflik yang ada lebih rendah 30 persen. Jumlah orang yang terbunuh di dalam perang sipil juga telah berkurang jauh saat ini dibandingkan jumlahnya satu atau dua dekade yang lalu. Tapi kecenderungan ini meragukan. Angka tertinggi kematian dalam peperangan terjadi antara tahun 1998 dan 2001, di mana sekitar 80.000 tentara, polisi dan pemberontak terbunuh setiap tahun. Angka terendah untuk korban peperangan terjadi di tahun 2003, di mana hanya 20.000 orang yang terbunuh. Meskipun ada kenaikan dan penurunan setelah itu, kecenderungan totalnya — dan inilah bagian yang penting — jelas-jelas mengarah pada penurunan pada dua dekade terakhir.

Berita mengenai korban warga sipil juga tidak seburuk yang sebelumnya terjadi Dari angka lebih dari 12.000 warga sipil yang dengan sengaja dibunuh dalam perang sipil pada tahun 1997 dan 1998, satu dekade setelahnya, angka ini menjadi 4.000. Terjadi penurunan sebesar dua pertiganya. Penurunan ini bahkan akan lebih jelas bila kita mempertimbangkan kasus pembantaian di Rwanda di tahun 1994. Pada saat itu 800.000 warga sipil dibunuh hanya dalam beberapa bulan saja. Ini benar-benar sebuah pencapaian yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Yang juga penting untuk diperhatikan data ini hanya mengungkapkan sebagian dari keseluruhan cerita. Data ini tidak termasuk mereka yang meninggal dunia sebagai akibat dari perang sipil, seperti kelaparan atau penyakit. Dan data ini juga tidak mempertimbangkan penderitaan warga sipil yang lebih umum. Penyiksaan, pemerkosaan dan pembersihan etnis telah menjadi senjata, sering tidak mematikan, yang sangat efektif di dalam perang sipil. Dengan kata lain, bagi warga sipil yang merasakan akibat konflik etnis dan perang sipil, tidak pernah ada perang yang baik dan tidak pernah ada perdamaian yang buruk. Untuk itu, meskipun hanya satu warga sipil terbunuh, dilukai, diperkosa atau disiksa — satu saja sudah terlalu banyak, fakta bahwa jumlah korban warga sipil telah menurun saat ini dibandingkan satu dekade yang lalu, adalah kabar baik.

Jadi, saat ini konflik yang ada lebih sedikit di mana jumlah orang yang terbunuh juga berkurang. Dan pertanyaan besarnya tentu, adalah mengapa? Dalam beberapa kasus, adalah kemenangan dari salah satu pihak militer Ini seperti sebuah solusi, tapi yang seperti ini sangat jarang terjadi tanpa ada korban manusia atau konsekuensi kemanusiaan. Kekalahan Macan Tamil di Sri Lanka mungkin contoh paling baru dari kasus ini tapi kita telah melihat hal yang serupa dengan yang disebut solusi militer ini di Balkan, di Kaukasus Selatan dan di sebagian besar Afrika. Sering kali, disertai dengan pendirian pemukiman penduduk atau setidaknya perjanjian gencatan senjata, dan pasukan penjaga perdamaian diturunkan. Tapi sangat jarang terjadi di mana hal itu menjadi kesuksesan yang bergema — Bosnia dan Herzegovina mungkin lebih lagi di Georgia. Tapi di banyak tempat di Afrika seorang kolega saya sekali waktu berkata seperti ini, “Gencatan senjata di Selasa malam tercapai tepat waktu untuk pembantaian yang dimulai pada hari Rabu pagi.”

Tapi mari lihat kembali kabar baiknya. Bila tidak ada solusi yang tercapai di lapangan tiga faktor dapat dipertimbangkan untuk mencegah konflik etnis dan perang sipil, atau proses perdamaian berkelanjutan sesudahnya: kepemimpinan, diplomasi dan disain institusi. Ambil contoh Irlandia Utara. Meskipun ada ratusan tahun permusuhan, puluhan tahun kekerasan dan ribuan orang terbunuh, di tahun 1998 terwujud sebuah persetujuan bersejarah. Tahap awal persetujuan tersebut dimediasi dengan sangat baik oleh Senator George Mitchell. Dengan sangat penting, untuk kesuksesan jangka panjang dari proses perdamaian di Irlandia Utara, beliau memberlakukan syarat-syarat yang sangat jelas untuk berpartisipasi dan negosiasi. Yang sangat penting dari hal tersebut adalah sebuah komitmen untuk jalan perdamaian yang ekslusif. Revisi yang selanjutnya dari persetujuan tersebut difasilitasi oleh pemerintah Inggris dan Irlandia, yang tidak pernah goyah dalam determinasi mereka untuk membawa perdamaian dan stabilitas di Irlandia Utara.

Institusi – institusi utama ini yang didirikan di tahun 1998 dan hasil modifikasinya di tahun 2006 dan 2008 benar-benar sangat inovatif dan memungkinkan semua pihak yang terlibat dalam konflik melihat bahwa segala kepentingan dan permintaannya didengarkan. Persetujuan ini menggabungkan sebuah persetujuan pembagian kekuasaan di Irlandia Utara dengan institusi – institusi lintas perbatasan yang menghubungkan Belfast dan Dublin dan oleh karena itu menghargai apa yang disebut dimensi Irlandia dari konflik tersebut. Dan dengan sangat jelas, juga ada sebuah fokus yang jelas tidak saja untuk hak-hak individual tapi juga untuk hak-hak komunitas. Pasal-pasal dalam persetujuan itu mungkin saja rumit, tapi begitu pula konflik yang menjadi latar belakangnya. Mungkin yang terpenting adalah. para pemimpin lokal berulang kali menjawab tantangan untuk berkompromi, tidak selalu cepat dan tidak selalu dengan penuh antusias, tetapi pada akhirnya mereka berhasil melakukannya. Siapa yang bisa membayangkan Ian Paisley dan Martin McGuinness akan menjalankan Irlandia Utara bersama-sama sebagai menteri utama dan wakilnya?

Tapi memang Irlandia Utara adalah sebuah contoh yang unik, atau apakah penjelasan seperti ini hanya berlaku secara lebih luas di negara-negara yang demokratis dan maju? Tentu saja tidak. Akhir dari perang sipil yang berkepanjangan di Liberia pada tahun 2003 menggambarkan pentingnya kepemimpinan, diplomasi dan disain institusi sama seperti suksesnya pencegahan dari perang sipil dalam skala penuh di Makedonia di tahun 2001, atau suksesnya penyelesaian konflik di Aceh di Indonesia di tahun 2005. Dalam tiga kasus tersebut, para pemimpin lokal memiliki niat dan kemampuan untuk menciptakan perdamaian, masyarakat international siap menunggu untuk membantu mereka bernegosiasi dan mengimplementasikan suatu persetujuan dan institusi-institusi itu telah mampu memenuhi janji yang mereka pegang pada saat mereka mencapai persetujuan.

Dengan memfokuskan pada kepemimpinan, diplomasi dan disain institusi, juga membantu menjelaskan kegagalan dalam mencapai perdamaian, atau dalam mempertahankannya. Harapan yang ditumpukan di Kesepakatan Oslo tidak menuju pada sebuah penyelesaian untuk konflik Israel-Palestina. TIdak semua isu yang harus diselesaikan tercakup di dalam persetujuan-persetujuan tersebut. Namun, para pemimpin lokal berkomitmen untuk meninjau kembali hal itu kemudian. Tapi ketika mereka seharusnya mengambil kesempatan ini, para pemimpin lokal dan internasional terpecah dan teralihkan perhatiannya oleh kasus Intifada kedua, peristiwa 9/11 dan perang di Afghanistan dan Irak.

Persetujuan perdamaian untuk Sudan yang komprehensif yang ditandatangani tahun 2005 ternyata kurang komprehensif daripada yang dibayangkan dan pasal-pasalnya mungkin malah memuat bibit-bibit kembalinya sebuah perang pada skala penuh antara utara dan selatan. Pergantian dan kelemahan dalam kepemimpinan, lebih berperan dalam hal ini daripada diplomasi internasional dan kegagalan institusi bertanggung jawab untuk hal ini dalam tingkat yang sama besarnya. Masalah perbatasan yang tidak terselesaikan, sengketa hasil minyak, konflik yang berkelanjutan di Darfur, kekerasan antarsuku yang memburuk di daerah selatan dan kemampuan pemerintah yang lemah secara umum di seluruh Sudan melengkapi sebuah gambaran yang sangat menyedihkan dari sebuah kondisi di negara terbesar di Afrika ini.

Satu contoh akhir: Kosovo. Kegagalan untuk mencapai sebuah solusi melalui negosiasi untuk Kosovo dan kekerasan, ketegangan serta permisahan de facto yang menjadi hasilnya memiliki sebab-sebab tersendiri dengan banyak faktor-faktor yang berbeda. Tiga hal terpenting di antaranya adalah: Pertama, kerasnya pendirian para pemimpin lokal yang tidak mau mengurangi permintaan maksimal mereka. Kedua, upaya diplomasi internasional yang telah terganggu sejak awal oleh dukungan pihak Barat untuk kemerdekaan Kosovo. dan ketiga, kurangnya imajinasi saat penentuan disain institusi yang sebenarnya dapat menjawab permintaan – permintaan baik dari pihak Serbia maupun Albania. Di lain pihak — dan di sini kita punya beberapa kabar baik lagi — dengan adanya fakta bahwa terdapat kehadiran lembaga internasional tingkat tinggi dengan sumber daya memadai di Kosovo dan daerah Balkan secara umum dan fakta bahwa para pemimpin dari kedua belah pihak telah cukup mampu untuk menahan diri menjelaskan mengapa keadaan tidak menjadi lebih buruk dalam dua tahun terakhir ini sejak 2008.

Perjanjian Helsinki: pemimpin dan diplomasi

Jadi bahkan dalam situasi-situasi di mana hasilnya kurang optimal para pemimpin lokal dan internasional memiliki pilihan, dan mereka dapat membuatnya menjadi lebih baik. Perang dingin tidaklah sebaik sebuah perdamaian dingin, tapi sebuah perdamaian dingin tetap lebih baik daripada sebuah perang yang panas. Ada kabar baik juga tentang mempelajari hal yang benar. Jadi apa yang membedakan konflik Israel-Palestina dengan perang sipil di Irlandia Utara atau perang sipil di Sudan dari kejadian serupa di Liberia? Semua kesuksesan dan kegagalan tersebut mengajarkan kita beberapa hal yang sangat penting yang perlu kita renungkan bila kita menginginkan kabar baik ini berlanjut. Pertama, kepemimpinan. Sama halnya dengan fakta bahwa konflik etnis dan perang sipil bukanlah sesuatu yang alami, melainkan bencana buatan manusia, pencegahan dan pemecahanya tidak terjadi secara otomatis juga. Kepemimpinan perlu memiliki kemampuan, determinasi dan visi dalam komitmennya pada perdamaian. Para pemimpin perlu menjalin hubungan satu sama lain dan juga dengan pengikut mereka, dan mereka perlu membawa serta para pengikutnya itu dalam sebuah perjalanan yang sering kali sulit menuju masa depan yang damai.

Kedua, diplomasi. Diplomasi memerlukan sumber daya yang memadai, berkelanjutan, dan dapat menerapkan insentif dan tekanan dengan tepat pada para pemimpin dan pengikutnya. Hal ini diperlukan untuk membantu mereka mencapai kompromi yang seimbang, dan diperlukan untuk memastikan bahwa sebuah koalisi yang luas dari para pendukung di tingkat lokal, regional dan internasional membantu mereka mengimplementasikan persetujuan mereka.

Ketiga, disain institusi. Disain institusi membutuhkan fokus yang mendalam pada isu-isu yang ada, pemikiran inovatif dan implementasi yang fleksibel dan memiliki dana yang cukup. Pihak-pihak yang berkonflik perlu meninggalkan permintaan-permintaan maksimal dan mengarah kepada kompromi yang menghargai kebutuhan-kebutuhan pihak lain.. Dan mereka perlu untuk berpikir mengenai substansi dari persetujuan mereka melebihi label-label yang ingin mereka tampilkan. PIhak-pihak yang berkonflik juga perlu mempersiapkan diri untuk kembali ke meja perundingan bila implementasi dari persetujuan tersebut terhambat.

Bagi saya pribadi, pelajaran paling penting dari semua ini adalah: komitmen lokal untuk perdamaian sangat penting, tapi sering kali tidak cukup untuk mencegah atau menghentikan kekerasan. Meskipun begitu, tidak ada pernah ada cukup diplomasi atau disain institusi yang dapat mengatasi kegagalan di tingkat lokal dan segala akibat yang disebabkannya. Untuk itu, kita harus melakukan investasi dalam membangun pemimpin-pemimpin para pemimpin yang memiliki kemampuan, visi dan determinasi untuk menciptakan perdamaian. Dengan kata lain, para pemimpin yang akan dipercayai oleh masyarakat yang akan diikuti masyarakat meskipun bila hal itu berarti membuat keputusan yang berat.

Satu pemikiran terakhir: mengakhiri perang sipil adalah sebuah proses yang penuh bahaya frustasi dan kemunduran. Seringkali dibutuhkan satu generasi untuk mencapainya, tapi hal ini juga membutuhkan kita semua, generasi hari ini, untuk mengambil tanggung jawab dan untuk mengambil pelajaran yang benar tentang kepemimpinan, diplomasi dan disain institusi, sehingga tentara-tentara anak pada hari ini dapat benar-benar menjadi anak-anak di hari esok.

Terima kasih.

Stefan Wolff adalah ilmuwan ilmu politik dari Jerman, profesor keamanan internasional di University of Birmingham, Inggris, dan salah satu ahli terkemuka di dunia pada konflik etnis. Menjadi konsultan  untuk pemerintah dan organisasi internasional pada berbagai isu terkait konflik dan terlibat dalam penyelesaian konflik di berbagai negara. Ia menulis lusinan buku, termasuk “Ethnic Conflict: A Global Perspective.” Ia adalah editor pendiri Ethnopolitics, sebuah, triwulanan jurnal peer-review yang didedikasikan untuk studi tentang konflik etnis dan manajemen mereka di seluruh dunia.

Untuk menonton ceramah Stefan Wolff di atas, klik tube di bawah ini:

Tinggalkan komentar