Galeri

Jean-Michel Basquiat (1960-1988): Antara Protes Sosial dan Komersialisasi Seni

Potret Diri (1983)

“I am not a black artist, I am an artist..” (Jean-Michel Basquiat)

Jean-Michel Basquiat bukan sekadar pelukis berkulit hitam dari Brooklyn. Karyanya dinilai oleh banyak pihak sebagai penggerak seni graffiti serta mewakili aspirasi suara dari kaum Afro-Amerika di Amerika Serikat. Hal yang diakui oleh Basquiat sendiri, yaitu bahwa protagonis dalam seluruh lukisan-lukisannya. Upaya Basquiat untuk meletakkan kaum Afro-Amerika dalam posisi sentral pada semua karyanya berawal dari fakta pahit di masa hidupnya bahwa bahkan dalam dunia seni kaum Afro-Amerika mengalami marginalisasi: “Saya disadarkan oleh bahwa saya tidak pernah melihat beberapa lukisan dengan orang (kulit) hitam di dalamnya.”

Dalam film “Basquiat” (1996), pelukis kulit hitam ini digambarkan sebagai seorang yang berpakaian kumuh dengan rambut gimbal yang dikuncir ke atas. Sehari- hari pada masa hidupnya yang menggelandang menjadikan kardus sebagai rumahnya. Di dalamnya Basquiat tertidur dengan pulas dan bermimpi bertemu Ibunya yang memberinya mahkota emas. Fantasinya liar, seliar kehidupan seksualnya sebagai orang yang biseksual. Langit, bagi Basquiat, tak ubahnya  lautan dengan ombak menggulung dengan seorang peselancar sambil menikmati ombak.

Karirnya singkat, dari umur 20 hingga 27 tahun (hanya 7 tahun), namun tatkala  ia wafat tahun 1988, karyanya menjadi fenomenal di jajaran pelukis dunia,  terutama para seniman pos-modernis. Bagi Basquiat seluruh ruang yang ada adalah media bagi karya lukisannya. Tidak ada satu lukisan dianggap benar-benar selesai. Karya lukisan selalu berubah bergantung pada keinginan atau keadaan si pelukis. Ini yang membedakannya dengan banyak pelukis terkenal di masanya: lukisan Basquiat hidup bersama dengan pelukisnya. Di tangan Basquiat, seni lukis melampaui batasan media sempit yang disediakan baginya.

Basquiat lahir di Park Slope, Brooklyn, pada tanggal 22 Desember 1960. Ayahnya adalah seorang akuntan keturunan Hawai, seorang hidung belang yang menggemari musik jazz dan tennis. Ibunya berasal dari  Puerto Rico. Sang Ibu menguasai beragam bahasa, antara lain Bahasa Perancis, Spanyol dan Inggris dan memiliki minat akan seni. Seringkali anak laki-lakinya diajak olehnya mengunjungi teater dan museum. Tampaknya, dari kebiasaan inilah diam-diam selera seni Basquiat kecil diasah.

Jean-Michel Basquiat

Sejak berusia 4 tahun, Basquiat diketahui maniak dalam menggambar. Basquiat mulai menggambar pada  kertas-kertas yang dibawa pulang oleh ayahnya dari kantor. Cita-citanya adalah menjadi seorang penulis dan kartonis. Pada suatu ketika, di usianya yang masih belia ia pernah ditabrak mobil. Pada saat-saat menghabiskan waktunya di rumah sakit, Ibunya menghadiahkan salinan anatomi karya Gray. Kemudian hari, basquiat banyak merujuk bpada buku tersebut dalam membuat  lukisannya. Buku lainnya yang juga menjadi acuannya dalam melukis adalah buku karya William Burrough yang berjudul “Junky”. Selain dari kedua buku tersebut, Basquiat tidak memiliki latar belakang pendidikan seni ataupun les melukis.

Kedua referensi tersebut yang kemudian banyak mewarnai karya Basquiat. Menurut agennya, Vrej Baghoomian, lukisan Basquiat banyak didominasi gabungan bentuk-bentuk orang yang kurus terlihat tulang dan organnya (yang digambarkan dengan kaku) serta simbol-simbol kata atau kalimat. Dalam sebuah wawancaranya dengan majalah The New York Times, tahun 1985, Basquiat menyebutkan bahwa dia menggunakan kata-kata layaknya kuas lukisan. Hal ini memperlihatkan betapa bagi Basquiat gambar dan kata-kata adalah  simbol belaka yang setara posisinya, sehingga keduanya dapat disejajarkan dalam satu media tanpa harus dianggap sebagai dua dimensi sistem tanda yang terpisah.

Ketika umurnya mencapai 7 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Akibat dari perceraian itu, ibu Basquiat mengalami depresi berat hingga akhirnya terpaksa dirawat dalam sebuah rumah sakit jiwa. Basquiat dan kedua saudarinya, Lisane dan Jeanine, dibesarkan oleh Ayahnya di Boerum Hill. Hoban menulis bahwa ayah Jean-Michel sering memukulnya dan pernah sekali menusuk anus anaknya (Basquiat kemudian mengakui bahwa penyerangan itu dikarenakan dia terpergok melakukan hubungan seks dengan saudara sepupu laki-lakinya). Di sekolah, dia menggambar sepanjang waktu. Sang Guru mengingatnya sebagai sosok yang sangat berbakat sekaligus sangat pemarah.

Irony of the Negro Policeman (1981)

Mengenai temperamen Basquiat ini dijelaskan Cathleen Mc Guigan dalam tulisannya yang berjudul, “New Art, New Money“. Seorang dealer, mengunjungi studionya dan menemukan tidak ada makanan sehat, pergi keluar dan kembali lagi dengan membawa kalengan buah-buahan dan kacang-kacangan. ” Tetapi apa yang ia inginkan benar-benar hanya lukisan saya,” ujar Basquiat kemudian hari. “Dia mencoba mengatakan pada saya bahwa sopirnya yang berkulit hitam bekerja dengannya di dalam galeri, bukan sekadar sopir.” Ketika dealer itu keluar dari studio, dengan gundah Basquiat membungkuk keluar dari jendela dan membuang isi kaleng di atas kepalanya.

Kejadian ini selain menunjukkan sikap temperamental Basquiat sekaligus  mengungkapkan isu yang sangat peka baginya. Perlakuan sang dealer tersebut menyinggung masalah keterbelakangan kaum Afro-Amerika di  Amerika Serikat. Bagi Basquiat, hal tersebut adalah sebuah penghinaan terhadap ketidakberdayaan kulit berwarna dalam kemahiran seni, sekaligus bentuk pameran kemapanan. Kepekaan Basquiat terhadap persoalan ini tidak terlepas dari masa-masa kehidupan masa remaja hingga dewasanya yang banyak dihabiskan di jalanan yang penuh dengan kekerasan.

Ketika berumur 15 tahun, Basquiat minggat dari rumahnya dan tinggal di Washington Square Park sebagai orang jalanan, menikmati LSD obat- obatan  lainnya. Untuk menyokong hidupnya, ia menjual kaos yang dilukis dan kartu  pos buatan tangan di West Broadway. Suzi Gablik dalam bukunya berjudul ”Has Modernism Failed?” mengungkapkan Basquiat menjawab, “Saya hanya duduk di  sana (Washington Square Park, pen.) dan menggunakan LSD selama delapan bulan di sana,” [‘I just sat there dropping acid for eight months”] ujar Basquiat padanya.  “Sekarang, semua terlihat membosankan. Hal ini seperti meracuni pikiranmu.” [Now all that seems boring. It eats your mind up.”]

Ia di-DO dari sekolah untuk kesekian kalinya pada usia 17 (sebelumnya, Basquiat berkata, dia melempar kepala sekolahnya dengan cream pie) dan mulai menulis pesan-pesan puitis dan mencoretkan simbol aneh dengan temannya yang bernama Al Diaz di dinding seluruh kota terutama di SoHo. Pesannya ditulis dengan spidol tampak anarkis, dari yang maknanya jelas – seperti ”Riding around in Daddy’s convertible with trust fund money”- sampai yang maknanya tidak jelas sama sekali, contohnya; ”Plush safe . . . he think.” Mereka menandai tiap kalimat dengan simbol “SAMO©”dan symbol copyright.  Basquiat menjelaskan bahwa  “SAMO©” merupakan merek produk atau logo perusahaan.

Graffiti SAMO©

Selain itu dia juga berteman dengan artis muda pemberontak lainnya seperti, Keith Haring dan Kenny Scharf. Ketiganya menjadi bagian dari pergerakan graffiti yang menjamur di East Village pada akhir 1970-an dan merupakan penyumbang semangat baru bagi budaya jalanan. Tetapi graffiti Basquiat sungguh menonjol karena keunikannya, tanda “SAMO©”  ia coretkan di seluruh SoHo dan TriBeCa. Semua orang menyukai “SAMO©”. “Itu alat untuk mengejek kepura-puraan,” menurut Basquiat. Basquiat pun mulai  menjadi populer di kalangan seniman jalanan.
Graffiti mereka banyak menarik perhatian. “Pada saat itu, kemanapun kamu pergi ke pembukaan galeri seni atau klub baru yang keren, lambang “SAMO©” pasti sudah muncul di sana,” kata Jeffrey Deitch, seorang kritikus seni yang bekerja untuk Citibank dan ini merupakan langkah awal jalan Basquiat menuju kemasyhuran. Pada masa itu, Citibank ikut menyarankan para pelanggannya untuk mempertimbangkan karya seni yang berkualitas sebagai investasi yang baik. Bersama dengan bank yang lain, Citibank  juga menerima karya seni dan perabotan sebagai bentuk pembayaran pinjaman. Kebijakan ekonomi inilah yang menyuburkan komersialisasi terhadap karya seni pada masa itu.

Sayangnya, masih belum  diketahui siapa dedengkot “SAMO©.”  Keith Haring, yang mengagumi karya seni “SAMO©”, akhirnya  menemukan Basquiat di School of Visual Arts. Hari berikutnya, karya “SAMO©” terlukis di seluruh dinding sekolah.

Komentar Basquiat tentang inspirasi pada masa awalnya ini, “Saya menyukai karya anak-anak ketimbang karya seniman saat ini.” “Karena saya baru tujuh belas tahun, saya mengira saya bisa jadi bintang,” kata Basquiat. “Saya memikirkan semua idola saya, Charlie Parker, Jimi Hendrix. . . . Saya memiliki perasaan romantis soal bagaimana orang menjadi beken. Meskipun saya berpikir karyaku tidak sebaik itu, saya tetap percaya diri.”

Namun, ketika persahabatannya dengan Al Diaz putus, Basquiat menuliskan kata “SAMO© TELAH MATI” [“SAMO© IS DEAD”] secara jelas di seluruh pinggiran Manhattan.

Tidak Berjudul. 1984

Ketika masih berumur 20 tahun, Hasil karya Basquiat dipertunjukkan pada galeri-galeri terkenal SoHo, termasuk Nosei Gallery dan the Mary Boone Gallery, dan karyanya dipamerkan di dalam galeri-galeri di SoHo sampai Paris, Tokyo dan Dusseldorf. Lukisannya terjual dari US$ 25.000 hingga US$ 50.000. Para kritikus memuji karyanya dalam segi komposisi, warna, serta keseimbangan antara spontanitas dengan kontrol.

Semenjak  itu, kehidupan Basquiat berubah total. Dari kehidupan jalanan menuju kehidupan layaknya selebriti. Selama musim musim gugur tahun 1982, Basquiat hidup layaknya seorang ‘pertapa’ di sebuah loteng pada Crosby Street, SoHo. “Saya punya cukup uang. Saya membuat lukisan-lukisan terbaik dari yang pernah ada,” katanya mengomentari kondisinya saat itu. “Saya sepenuhnya terasing, bekerja sepanjang waktu, banyak memakai narkoba. Bagi orang lain saya ini mengerikan.”

Basquiat mulai menjadi pusat perhatian. Pameran keduanya diadakan di ruang pameran Mazzoli di Modena, karenanya dia berangkat ke Eropa. ”Mereka mengatur semua itu sehingga saya perlu membuat 8 lukisan dalam satu minggu untuk pameran minggu depan,” kata Basquiat. ”Itu hal yang tidak kusukai. Saya membuat lukisan itu di ruang kerjaku yang besar. Annina, Mazzoli dan Bruno ada di sana. Hal ini seperti di dalam pabrik yang sakit,” kata Basquiat. ”Aku membencinya.” Ini adalah konsekuensi dari ketenaran yang dialami Basquiat, selain menjadi kaya raya.

Namun dibalik semua itu karya-karya Basquiat memperoleh perhatian yang besar dari kalangan seniman di Italia. Bagi Sandro Chia, seorang pelukis Italia, lukisan Basquiat menangkap spontanitas dan “realitas emosi” dari sebuah kota yang dia tinggali. Lukisan-lukisannya penuh dengan elemen-element yang terpisah namun ditangannya tampak selaras,  meski tidak ada sistem yang menghubungkan elemen-elemen tersebut. —”just like New York,” kata Chia.

Pada tahun-tahun terakhir, Basquiat bersahabat dengan seorang artis yang mungkin memahami kekuatan selebriti lebih baik daripada orang-orang lainnya dalam kebudayaan. Suatu ketika dia mencoba menjual fotokopi kartuposnya di pinggiran jalan SoHo, dia mengikuti Andy Warhol dan Henry Geldzahler ke dalam restoran. Warhol membeli satu dari kartu itu seharga US$ 1. Kemudian hari, saat Basquiat berhasil melukis di atas kaos, suatu hari dia pergi ke tempat kerja Warhol. “Saya hanya ingin bertemu dengannya, ia adalah pahlawan seni bagi saya,” ingatnya kembali. Warhol melihat kaos hasil karyanya dan memberinya uang untuk membeli lebih banyak lagi.

Basquiat menjalin hubungan persahabatan yang akrab dengan Andy Warhol. Mereka mengabadikan persahabatan mereka dalam foto bersama yang dijual di pelelangan barang-barang Andy Warhol di Sotheby. Keduanya juga  berkolaborasi dalam sebuah serangkaian pameran pada tahun 1985 yang menampilkan karakter cartoon dan logo perusahaan.

Hingga saat kematiannya pada tahun 1988 akibat overdosis obat-obatan di usia 27 tahun, Basquiat hidup di gedung yang dia sewa dari estate milik Warhol. “Kematian Andy benar-benar berpengaruh padanya,” ujar Baghoomian. Basquiat tenggelam dalam kesedihan, ”secara emosional, dia dia selalu dalam kekacauan,” tambahnya. Agennya, Vrej Baghoomian, berkata penyebab kematian Basquiat antara serangan jantung atau overdosis narkoba. Basquiat sudah merencanakan untuk berlibur dengan melakukan perjalanan panjang ke Ivory Coast, tambah Baghoomian.

SepaNjamg hidupnya Basquiat adalah sosok yang hidup kesepian dan merasa terkurung dalam keputus asaan yang panjang. Ketika dia kehilangan Andy Warhol, satu-satunya sahabat terdekatnya, dia mengalami guncangan hebat walaupun itu bukan yang pertama. Basquiat pernah juga bercecok dengan Al Diaz yang juga sahabat dekatnya hingga merusak hubungan mereka. Tapi pada kematian Warhol, Basquiat menjadi depresi berat. Dia berkeliring di seluruh kota dengan memakai sepatu aneh yang ditulis dengan kata “TITANIC” untuk menggambarkan keadaan dirinya yang “tenggelam” dalam keputusaasaan berat.

Dari sudut rasa kesendiriannya yang dalam ini, Basquiat pernah mengandaikannya dirinya sebagai seorang pangeran yang dikurung dalam sebuah menara. Di dalam menara, sang pangeran yang putus asa memukul-mukul terali besi jendela hingga mengeluarkan serangkaian lengkingan suara yang unik untuk sekadar melampiaskan perasaannya yang kesepian serta kecewa. Penduduk yang berada di bawahnya mendengar suara-suara itu setiap sore. Semakin lama didengarkan, suara itu dinilai orang-orang yang sebagai musik yang indah. Mereka memuji lagu itu dan kemudian bertanya-tanya siapa yang bermain ‘musik’ seindah itu. Demikianlah keadaan Basquiat, seorang yang melukis sebagai pelariannya dari rasa putus asa, tapi secara Ironis publik seni memberi penafsir berbeda terhadap karyanya…

SAMO© is Dead

Referensi
Bosworth, Patricia. Hyped to Death — The short life of Jean-Michel Basquiat, graffiti artist turned gallery commodity. New York Times,  August 9, 1998. Sumber onlne: http://www.nytimes.com/books/98/08/09/reviews/980809.09boswort.html

Hays, Constance L. Jean Basquiat, 27, An Artist of Words And Angular Images, New York Times, August 15, 1988. Sumber online: http://www.nytimes.com/1988/08/15/obituaries/jean-basquiat-27-an-artist-of-words-and-angular-images.html

McGuigan, Cathleen. New Art, New Money.  New York Times,  February 10, 1985. Sumber online: http://www.nytimes.com/books/98/08/09/specials/basquiat-mag.html

Tinggalkan komentar